Mengapa Bonus Demografi di Indonesia Belum Berdampak Signifikan pada Pertumbuhan Ekonomi Indonesia? Ini Penjelasan Ahli
Bonus demografi adalah kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak daripada jumlah penduduk usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Bonus demografi dapat menjadi keuntungan bagi perekonomian suatu negara karena penduduk usia produktif dapat menjadi sumber tenaga kerja, pelaku usaha, dan konsumen potensial yang dapat meningkatkan output perekonomian.
Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi pada tahun 2030-2045, dengan puncaknya pada tahun 2030-2045. Pada tahun 2022, jumlah penduduk usia produktif di Indonesia mencapai 190,83 juta jiwa atau 69,3% dari total penduduk sebesar 275,36 juta jiwa. Dengan komposisi penduduk seperti ini, Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan bonus demografi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Namun, kenyataannya bonus demografi di Indonesia belum berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 hanya mencapai -2,07% akibat dampak pandemi Covid-19. Meskipun pada tahun 2021 pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai pulih dan mencapai 7,07% pada kuartal II-2021, angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam (6,61%), Malaysia (16,1%), atau Filipina (11,8%).
Lalu, mengapa bonus demografi di Indonesia belum berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia? Berikut ini adalah beberapa penjelasan ahli yang dapat menjawab pertanyaan tersebut:
1. Kualitas penduduk usia produktif yang rendah
Salah satu faktor yang menyebabkan bonus demografi di Indonesia belum berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kualitas penduduk usia produktif yang rendah. Kualitas penduduk usia produktif dapat dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan, dan keterampilan yang dimiliki oleh penduduk usia produktif. Jika kualitas penduduk usia produktif rendah, maka mereka tidak akan mampu bersaing di pasar kerja atau berkontribusi secara optimal dalam perekonomian.
Menurut data BPS, rata-rata lama sekolah penduduk usia produktif di Indonesia pada tahun 2020 hanya 9,4 tahun. Angka ini masih jauh dari target minimum 12 tahun yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, menurut data UNICEF, angka stunting atau kekerdilan akibat gizi buruk pada anak-anak di bawah lima tahun di Indonesia mencapai 27,7% pada tahun 2019. Angka ini menunjukkan bahwa banyak anak-anak yang tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini dapat berdampak pada kesehatan dan kemampuan kognitif mereka di masa depan.
Selain itu, menurut data World Bank, indeks modal manusia (human capital index/HCI) Indonesia pada tahun 2020 hanya mencapai 0,52. Angka ini menunjukkan bahwa seorang anak yang lahir di Indonesia pada tahun 2020 hanya dapat mencapai 52% dari potensi produktivitasnya jika mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang baik. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata HCI negara-negara Asia Timur dan Pasifik yang mencapai 0,62.
Oleh karena itu, untuk memanfaatkan bonus demografi secara optimal, Indonesia perlu meningkatkan kualitas penduduk usia produktif dengan cara meningkatkan akses dan mutu pendidikan, kesehatan, dan nutrisi bagi seluruh penduduk, khususnya anak-anak dan remaja. Selain itu, Indonesia juga perlu meningkatkan keterampilan penduduk usia produktif sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan perkembangan teknologi.
2. Struktur perekonomian yang belum berubah
Faktor lain yang menyebabkan bonus demografi di Indonesia belum berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah struktur perekonomian yang belum berubah. Struktur perekonomian dapat dilihat dari kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Jika struktur perekonomian suatu negara didominasi oleh sektor-sektor yang berorientasi pada konsumsi atau komoditas, maka pertumbuhan ekonomi negara tersebut akan cenderung rendah dan rentan terhadap fluktuasi harga atau permintaan global.
Menurut data BPS, struktur perekonomian Indonesia pada tahun 2020 masih didominasi oleh sektor-sektor yang berorientasi pada konsumsi atau komoditas, seperti pertanian (13,18%), perdagangan (12,96%), konstruksi (10,28%), dan industri pengolahan (19,86%). Sementara itu, sektor-sektor yang berorientasi pada investasi atau inovasi, seperti informasi dan komunikasi (2,45%), jasa keuangan (6,99%), atau jasa profesional (1,67%) masih memiliki kontribusi yang rendah terhadap PDB Indonesia.
Oleh karena itu, untuk memanfaatkan bonus demografi secara optimal, Indonesia perlu mengubah struktur perekonomian dengan cara meningkatkan investasi dan inovasi di sektor-sektor yang memiliki nilai tambah tinggi dan daya saing global. Selain itu, Indonesia juga perlu melakukan diversifikasi produk dan pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas atau pasar tertentu.
3. Kebijakan publik yang kurang mendukung
Faktor selanjutnya yang menyebabkan bonus demografi di Indonesia belum berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kebijakan publik yang kurang mendukung. Kebijakan publik adalah rencana atau tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan publik dapat memengaruhi kondisi sosial, politik, dan ekonomi suatu negara. Jika kebijakan publik tidak sesuai dengan kebutuhan atau tantangan yang dihadapi oleh suatu negara, maka kebijakan publik tersebut dapat menjadi hambatan atau bahkan merugikan bagi pembangunan negara tersebut.
Menurut data World Bank, indeks kemudahan berusaha (ease of doing business/EODB) Indonesia pada tahun 2020 hanya mencapai 69,6. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki banyak hambatan atau birokrasi dalam melakukan aktivitas bisnis, seperti mendapatkan izin usaha, membayar pajak, mengurus perizinan konstruksi, atau menyelesaikan sengketa hukum. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata EODB negara-negara Asia Timur dan Pasifik yang mencapai 73.
Selain itu, menurut data World Bank, indeks kualitas kebijakan dan lembaga (country policy and institutional assessment/CPIA) Indonesia pada tahun 2019 hanya mencapai 3,5. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki banyak kelemahan atau ketidaksesuaian dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan lembaga publik, seperti pengelolaan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, pemberantasan korupsi, atau penguatan kapasitas lembaga publik. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata CPIA negara-negara Asia Timur dan Pasifik yang mencapai 3,8.
Oleh karena itu, untuk memanfaatkan bonus demografi secara optimal, Indonesia perlu meningkatkan kualitas kebijakan publik dengan cara menyusun dan menerapkan kebijakan publik yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan pembangunan Indonesia. Selain itu, Indonesia juga perlu meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas lembaga publik dengan cara melakukan reformasi birokrasi, penguatan kapasitas, dan pemberantasan korupsi.
Itulah beberapa penjelasan ahli mengapa bonus demografi di Indonesia belum berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Semoga artikel ini bermanfaat dan membantu Anda dalam memahami isu-isu terkait bonus demografi di Indonesia. Selamat membaca dan belajar!
Posting Komentar untuk "Mengapa Bonus Demografi di Indonesia Belum Berdampak Signifikan pada Pertumbuhan Ekonomi Indonesia? Ini Penjelasan Ahli"